Sabtu, 10 Desember 2011

Makalah Tuberculosis

MAKALAH TUBERCULOSIS
PENDAHULUAN
Penyakit TBC adalah merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali pria, wanita, tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Di Indonesia khususnya, Penyakit ini terus berkembang setiap tahunnya dan saat ini mencapai angka 250 juta kasus baru diantaranya 140.000 menyebabkan kematian. Bahkan Indonesia menduduki negara terbesar ketiga didunia dalam masalah penyakit TBC ini.
Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa, Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA). Jenis bakteri ini pertama kali ditemukan oleh seseorang yang bernama Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882, Untuk mengenang jasa beliau maka bakteri tersebut diberi nama baksil Koch. Bahkan penyakit TBC pada paru-paru pun dikenal juga sebagai Koch Pulmonum (KP).
Penyakit Tuberkulosis  adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk kedalam paru-paru dan berkumpul hingga berkembang menjadi banyak (terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah), Bahkan bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh yang lain seperti otak, ginjal, saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.
Mycobacterium tuberculosis (MTB) adalah patogen bakteri spesies dalam genus Mycobacterium dan agen penyebab kebanyakan kasus TB . Pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Robert Koch. TB memiliki lilin, lapisan yang tidak biasa di permukaan sel (terutama asam mycolic ), yang membuat sel-sel tahan terhadap pewarnaan Gram sehingga asam-cepat teknik deteksi yang digunakan sebagai gantinya. TB sangat aerobik dan membutuhkan tingkat tinggi oksigen. MTB menginfeksi paru-paru dan merupakan agen penyebab TB . diagnostik yang digunakan metode yang paling sering untuk TB adalah tes kulit tuberkulin, asam-cepat noda, dan radiografi dada.
M. tuberculosis membutuhkan oksigen untuk tumbuh . Ia tidak mempertahankan apapun untuk karena lemak tinggi kandungan bakteriologis noda di dinding, dan dengan demikian tidak Gram positif maupun Gram negatif; maka Ziehl-Neelsen , atau asam-cepat pewarnaan, digunakan. Sementara mikobakteri tampaknya tidak sesuai dengan kategori Gram-positif dari sudut pandang empiris (yaitu, mereka tidak mempertahankan noda violet kristal), mereka diklasifikasikan sebagai asam-cepat -bakteri Gram positif karena kurangnya mereka dari luar membran sel M. tuberculosis membagi setiap 15-20 jam, yang sangat lambat dibandingkan dengan bakteri lainnya, yang cenderung memiliki divisi kali dalam hitungan menit ( Escherichia coli (E. coli) dapat membagi kira-kira setiap 20 menit). Ini adalah kecil basil yang dapat menahan lemah desinfektan dan dapat bertahan dalam keadaan kering selama berminggu-minggu. dinding sel yang tidak biasa, kaya lipid (misalnya, asam mycolic ), kemungkinan bertanggung jawab untuk ketahanan ini dan merupakan faktor virulensi utama.
TB diambil oleh alveolar makrofag , tetapi mereka tidak dapat mencerna bakteri. Dinding selnya mencegah fusi dari fagosom dengan lisosom. TB blok molekul bridging, autoantigen endosomal awal 1 (EEA1), namun, blokade ini tidak mencegah fusi vesikel penuh dengan nutrisi. Akibatnya, bakteri berkembang biak dicentang dalam makrofag. Bakteri juga menghindari makrofag-membunuh dengan menetralisir nitrogen intermediet reaktif.
TB mutan dan individu produk gen uji untuk fungsi-fungsi tertentu secara signifikan telah maju pemahaman kita tentang patogenesis dan faktor virulensi M. tuberculosis . protein disekresikan dan diekspor Banyak diketahui penting dalam patogenesis. M. tuberkulosis ditandai dengan caseating granuloma mengandung sel Langhans raksasa , yang memiliki “tapal kuda” pola inti. Organisms are identified by their red color on acid-fast staining. Organisme diidentifikasi dengan warna merah pada asam-cepat pewarnaan.
Tuberkulosis menyebabkan penyakit paru-paru dapat menyebabkan pleuritis TBC, suatu kondisi yang dapat menyebabkan gejala seperti nyeri dada, batuk tidak produktif dan demam. Selain itu, infeksi dengan M. tuberculosis dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh, terutama pada pasien dengan lemah sistem kekebalan tubuh . Kondisi ini disebut sebagai miliaria TB dan menghubungi orang-orang mungkin mengalami demam, penurunan berat badan, kelemahan dan nafsu makan yang buruk Dalam kasus yang jarang terjadi lebih, tuberkulosis miliaria dapat menyebabkan batuk dan kesulitan bernafas (anonim, 2010).
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (WHO). WHO mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.
PATOGENESIS PENYAKIT
Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas, atau penyebaran langsung kebagian-nagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Riwayat terjadinya Tuberkulosis Infeksi Primer : Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke  kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 / 6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) : Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri  khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis : Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
Gejala – gejala Tuberkulosis:
Gejala Umum : Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih
Gejala Lain Yang Sering Dijumpai : Dahak bercampur darah. Batuk darah. Sesak napas dan rasa nyeri dada. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.
TERAPI TUBERKULOSIS
Karena yang menjadi sumber penyebaran TBC adalah penderita TBC itu sendiri, pengontrolan efektif TBC mengurangi pasien TBC tersebut. Ada dua cara yang tengah dilakukan untuk mengurangi penderita TBC saat ini, yaitu terapi dan imunisasi. Untuk terapi, WHO merekomendasikan strategi penyembuhan TBC jangka pendek dengan pengawasan langsung atau dikenal dengan istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy). Dalam strategi ini ada tiga tahapan penting, yaitu mendeteksi pasien, melakukan pengobatan, dan melakukan pengawasan langsung.
Deteksi atau diagnosa pasien sangat penting karena pasien yang lepas dari deteksi akan menjadi sumber penyebaran TBC berikutnya. Seseorang yang batuk lebih dari 3 minggu bisa diduga mengidap TBC. Orang ini kemudian harus didiagnosa dan dikonfirmasikan terinfeksi kuman TBC atau tidak. Sampai saat ini, diagnosa yang akurat adalah dengan menggunakan mikroskop. Diagnosa dengan sinar-X kurang spesifik, sedangkan diagnosa secara molekular seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) belum bisa diterapkan. Jika pasien telah diidentifikasi mengidap TBC, dokter akan memberikan obat dengan komposisi dan dosis sesuai dengan kondisi pasien tersebut. Adapun obat TBC yang biasanya digunakan adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, streptomycin, dan ethambutol. Untuk menghindari munculnya bakteri TBC yang resisten, biasanya diberikan obat yang terdiri dari kombinasi 3-4 macam obat ini.
Dokter atau tenaga kesehatan kemudian mengawasi proses peminuman obat serta perkembangan pasien. Ini sangat penting karena ada kecendrungan pasien berhenti minum obat karena gejalanya telah hilang. Setelah minum obat TBC biasanya gejala TBC bisa hilang dalam waktu 2-4 minggu. Walaupun demikian, untuk benar-benar sembuh dari TBC diharuskan untuk mengkonsumsi obat minimal selama 6 bulan. Efek negatif yang muncul jika kita berhenti minum obat adalah munculnya kuman TBC yang resisten terhadap obat. Jika ini terjadi, dan kuman tersebut menyebar, pengendalian TBC akan semakin sulit dilaksanakan.
DOTS adalah strategi yang paling efektif untuk menangani pasien TBC saat ini, dengan tingkat kesembuhan bahkan sampai 95 persen. DOTS diperkenalkan sejak tahun 1991 dan sekitar 10 juta pasien telah menerima perlakuan DOTS ini. Di Indonesia sendiri DOTS diperkenalkan pada tahun 1995 dengan tingkat kesembuhan 87 persen pada tahun 2000 (http:www.who.int). Angka ini melebihi target WHO, yaitu 85 persen, tapi sangat disayangkan bahwa tingkat deteksi kasus baru di Indonesia masih rendah. Berdasarkan data WHO, untuk tahun 2001, tingkat deteksi hanya 21 persen, jauh di bawah target WHO, 70 persen. Karena itu, usaha untuk medeteksi kasus baru perlu lebih ditingkatkan lagi. Imunisasi Pengontrolan TBC yang kedua adalah imunisasi. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyaki TBC. Vaksin TBC, yang dikenal dengan nama BCG terbuat dari bakteri M tuberculosis strain Bacillus Calmette-Guerin (BCG). Bakteri ini menyebabkan TBC pada sapi, tapi tidak pada manusia. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari bakteri M tuberculosis yang hidup (live vaccine), karenanya bisa berkembang biak di dalam tubuh dan diharapkan bisa mengindus antibodi seumur hidup. Selain itu, pemberian dua atau tiga kali tidak berpengaruh. Karena itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur hidup. Di Indonesia, diberikan sebelum berumur dua bulan. Imunisasi TBC ini tidak sepenuhnya melindungi kita dari serangan TBC. Tingkat efektivitas vaksin ini berkisar antara 70-80 persen. Karena itu, walaupun telah menerima vaksin, kita masih harus waspada terhadap serangan TBC ini. Karena efektivitas vaksin ini tidak sempurna, secara global ada dua pendapat tentang imunisasi TBC ini. Pendapat pertama adalah tidak perlu imunisasi. Amerika Serikat adalah salah satu di antaranya. Amerika Serikat tidak melakukan vaksinasi BCG, tetapi mereka menjaga ketat terhadap orang atau kelompok yang berisiko tinggi serta melakukan diagnosa terhadap mereka. Pasien yang terdeteksi akan langsung diobati. Sistem deteksi dan diagnosa yang rapi inilah yang menjadi kunci pengontorlan TBC di AS. Pendapat yang kedua adalah perlunya imunisasi. Karena tingkat efektivitasnya 70-80 persen, sebagian besar rakyat bisa dilindungi dari infeksi kuman TBC. Negara-negara Eropa dan Jepang adalah negara yang menganggap perlunya imunisasi. Bahkan Jepang telah memutuskan untuk melakukan vaksinasi BCG terhadap semua bayi yang lahir tanpa melakukan tes Tuberculin, tes yang dilakukan untuk mendeteksi ada-tidaknya antibodi yang dihasikan oleh infeksi kuman TBC. Jika hasil tes positif, dianggap telah terinfeksi TBC dan tidak akan diberikan vaksin. Karena jarangnya kasus TBC di Jepang, dianggap semua anak tidak terinfeksi kuman TBC, sehingga diputuskan bahwa tes Tuberculin tidak perlu lagi dilaksanakan.
Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia adalah negara yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak, agaknya masih perlu melaksanakan vaksinasi BCG ini. Dengan melaksanakan vaksinasi ini, jumlah kasus dugaan (suspected cases) jauh akan berkurang, sehingga memudahkan kita untuk mendeteksi pasien TBC, untuk selanjutnya dilakukan terapi DOTS untuk pasien yang terdeteksi. Kedua pendekatan, yaitu vaksinasi dan terapi perlu dilakukan untuk memberantas TBC dari bumi Indonesia.
Terdapat 5 jenis antibotik yang dapat digunakan. Suatu infeksi tuberkulosis pulmoner aktif seringkali mengandung 1 miliar atau lebih bakteri, sehingga pemberian 1 macam obat akan menyisakan ribuan organisme yang benar-benar resisten terhadap obat tersebut. Karena itu, paling tidak, diberikan 2 macam obat yang memiliki mekanisme kerja yang berlainan dan kedua obat ini akan bersama-sama memusnahkan semua bakteri.
Setelah penderita benar-benar sembuh, pengobatan harus terus dilanjutkan, karena diperlukan waktu yang lama untuk memusnahkan semua bakteri dan untuk mengurangi kemungkinan terjadi kekambuhan. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah isoniazid, rifampin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. Isoniazid, rifampin dan pirazinamid dapat digabungkan dalam 1 kapsul, sehingga mengurangi jumlah pil yang harus ditelan oleh penderita. Ketiga obat ini bisa menyebabkan mual dan muntah sebagai akibat dari efeknya terhadap hati. Jika timbul mual dan muntah, maka pemakaian obat harus dihentikan sampai dilakukan tes fungsi hati.Jika tes fungsi hati menunjukkan adanya reaksi terhadap salah dari ketiga obat tersebut, maka biasanya obat yang bersangkutan diganti dengan obat yang lain.
Pemberian etambutol diawali dengan dosis yang relatif tinggi untuk membantu mengurangi jumlah bakteri dengan segera. Setelah 2 bulan, dosisnya dikurangi untuk menghindari efek samping yang berbahaya terhadap mata. Streptomisin merupakan obat pertama yang efektif melawan tuberkulosis, tetapi harus diberikan dalam bentuk suntikan. Jika diberikan dalam dosis tinggi atau pemakaiannya berlanjut sampai lebih dari 3 bulan, streptomisin bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
Jika penderita benar-benar mengikuti pengobatan dengan teratur, maka tidak perlu dilakukan pembedahan untuk mengangkat sebagian paru-paru. Kadang pembedahan dilakukan untuk membuang nanah atau memperbaiki kelainan bentuk tulang belakang akibat tuberkulosis.
PENCEGAHAN
Terdapat beberapa cara untuk mencegah tuberkulosis:
  • Sinar ultraviolet pembasmi bakteri, bisa digunakan di tempat-tempat dimana sekumpulan orang dengan berbagai penyakit harus duduk bersama-sama selama beberapa jam (misalnya di rumah sakit, ruang tunggu gawat darurat). Sinar ini bisa membunuh bakteri yang terdapat di dalam udara.
  • Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-orang dengan resiko tinggi tuberkulosis, misalnya petugas kesehatan dengan hasil tes tuberkulin positif, tetapi hasil rontgen tidak menunjukkan adanya penyakit. Isoniazid diminum setiap hari selama 6-9 bulan. Penderita tuberkulosis pulmoner yang sedang menjalani pengobatan tidak perlu diisolasi lebih dari beberapa hari karena obatnya bekerja secara cepat sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya penularan. Tetapi penderita yang mengalami batuk dan tidak menjalani pengobatan secara teratur, perlu diisolasi lebih lama karena bisa menularkan penyakitnya Penderita biasanya tidak lagi dapat menularkan penyakitnya setalah menjalani pengobatan selama 10-14 hari.

sistem imun


SISTEM IMUN
System imun
System imun adalah semua mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan keutuhan tubuh. Sebagai pelindung terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bergagai bahan dalam lingkungan hidup.
Konsep imunitas yang disarankan oleh bellanti adalah suatu mekanisme yang bersifat faal, melengkapi manusia dengan suatu kemampuan untuk mengenali suatu zat sebagai sesuatu yang asing terhadap dirinya. Selanjutnya tubuh akan mengadakan tindakan netralisasi untuk melenyapkan atau memasukan ke dalam proses metabolisme, dengan akibat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuhnya sendiri ( Barata-widjaja, 1993; Subowo, 1993 )
Hubungan system imun dengan organ dan jaringan dengan proses penuaan   
            Studi epidemiologi menunjukan bahwa pada usia lanjut dijumpai naiknya incident dari berbagai penyakit , khususnya penyakit infeksi. Di antara seluruh kematian pada usia lanjut 30% di akibatkan penyakit infeksi. Meskipun berkurangnya sebagian dari komponen system imun yang terkena, perubahan yang terjadi adalah pada system barrier imun tubuh akibat perubahan anatomis dan fungsi organ yang bertanggung jawab terhadap meningkatnya kepekaan terhadap infeksi . pada usia lanjut. Permukaan mukosa, kulit sel silia, air mata, pH cairan lambung, aktifitas mekanik, seperti : bernafas dan batuk, semuanya penting sebagai barrier terhadap infeksi.
            Meningkatnya usia mengakibatkan sekresi mucus lambat, angka klirens dan jumlah mucus paru berkurang, sekresi kelenjar keringat berkurang, kulit cenderung kering, Ph cairan lambung meningkat. Semua hal tersebut dapat menimbulkan bakteri dan virus (Adler dkk 1990 )
Dan salah satu teori teori proses menua, teori autoimun termasuk didalamnya yang di uraikan sebagai berikut :
Teori autoimun
Teori penurunan system imun tubuh ( auto-immune theory) mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh mengenali dirinya sendiri ( self recognition). Jika mutasi yang merusak membrane sel, akan menyebabkan system imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit autoimun pada lanjut usia  (Goldstein, 1989).
Dalam proses metabolisme tubuh, diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Hasilnya dapat pula berupa reaksi antigen / antibody yang luas mengenai jaringan – jaringan beraneka ragam. Efek menua jadi akan menyebabkan reaksi histoinkomtabilitas pada banyak jaringan. Salah satu bukti yang ditemukan ialah bertambahnya prevalensi auto antibody bermacam- macam pada lansia (Brocklehurst, 1987).
            Dipihak lain system imun tubuh sendiri daya pertahananya mengalami penurunan pada proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker leluasa membelah- belah.inilah yang menyebabkan terjadinya kanker meningkat sesuai peningkatan umur ( Suhana, 1994) 


Kamis, 08 Desember 2011

asuhan keperawatan sirosis hepatis


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. di dalam hati terjadi proses – proses penting bagi kehidupan kita. yaitu proses penyimpanan energi, pengaturan metabolisme kolesterol, dan peneralan racu/obat yang masuk dalam tubuh kita. sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.
sirosis hepatis adalah suatu penyakit di mana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh system arsitekture hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat ( firosis ) di sekitar paremkin hati yang mengalami regenerasi. sirosis didefinisikan sebagai proses difus yang di karakteristikan oleh fibrosis dan perubahan strukture hepar normal menjadi penuh nodule yang tidak normal.
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyabab kematian terbesar ke tiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun ( setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker ). di seluruh dunia sirosis menempati urutan ketujuh penyebab kematian, 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit in. sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering di temukan dalam ruangan perawatan bagian penyakit dalam.
Di indonesia sirosis hati lebih sering di jumpai pada laki – laki dari pada perempuan. dengan perbandingan 2 – 4 : 1
Berdasarkan data diatas maka penulis mengangkat masalah ini menjadi kasus untuk penyusunan makalah perawatan dengan judul “ Asuhan keperawatan pada Tn. T, 50 tahun dengan Sirosis hepatis di Rumah Sakit Harapan Bunda pasar rebo jakarta Timur tanggal 5 Mei s.d 7 Mei 2009 “.
1.2  Rumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah inikarna akan di bahas untuk menambah ilmu pengtahuan dan wawasan yang luas kepada mahasiswa

1.3  Tujuan

1.3.1  Tujuan Umum

Mampu memberikan asuhan keperawatan secara komrehnsif pada pasien dengan sirosis hepatis, mampu memahami tentang konsep dasar penyakit sirosis hepatis, mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan

1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Menjelaskan definisi Sirosis hepatis
1.3.2.2 Menjelaskan anatomi dan fisiologi hepar / hati
1.3.2.3 Mengetahui etiologi sirosis hepatis
1.3.2.4 Mengetahui menifestasi klinis sirosis hepatis
1.3.2.5 Mengetahui patofisiologi sirosis hepatis
1.3.2.6 Mengetahui tanda dan gejala sirosis hepatis
1.3.2.7 Mengetahui penatalaksanaan pada penderita sirosis hepatis
1.3.2.8 Mengetahui pemeriksaan penujang untuk sirosis hepatis.
1.3.2.9 Mengetahui komplikasi yang terjadi pada sirosis hepatis
1.3.2.10 Mengetahui asuhan keperawatan pada penderita sirosis hepati
1.4  Manfaat Penelitian

Dalam penulisan makalah ini kami melakukan penelitian atau dengan cara mewawancara dengan cara :
·         Mengumpulkan data pasien dengan mengkaji pada saat pasien dirawat di rumah sakit
·         Mengumpulkan data dari internet
·         Mengumpulkan data dari buku-buku bacaan. Dll.
1.5  Ruang Lingkup

Dalam penyusunan makalah ini batasan – batasan masalah yang telah di tentukan sebagai mana di gunakan dalam penyusunan makalah tentang sirosis hepatis. Makalah ini diharapkan menjadi panduan bagi mahasiswa/I dan pasien sirosis hepatis
1.6  Metode Penulisan

Penulisan sistematika ini bertujuan untuk mempermudah menganalisa dan membahas makalah yang berjudul sirosis hepatis maka penulis menyusun sistematika sebagai berikut :
1.6.1  BAB I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, ruang lingkup, dan metode penulisan
1.6.2  BAB II yang berupa landasan teoritis yang diambil dari sumber buku – buku panduan paket keperawatan medikal bedah, ilmu penyakit dalam dan sumber – sumber lain seperti internet.
1.6.3  BAB III Berupa tinjauan kasus terdi dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, imlementasi, dan evaluasi
1.6.4  BAB IV Berupa pembahasan perbandingan teori dan tinjauan kasus
1.6.5  BAB V Penutup terdiri dari kesimpulan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS


A.   Konsep Dasar Medik
2.1 Definisi
Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis.
 Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.
Secara histopatologis sirosis hati didefinisikan sebagai penyakit hati menahun
yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat yang difus dan disertai
adanya nodul.









2.2 Anatomi dan fisiologi Hepar
2.2.1 Anatomi dan histologi hepar
Hepar terletak sebagian besar di regio hypocondrium dextra dan epigastrium hingga regio hypocondriaca sinistra.Hepar terdiri 2 facies, yaitu facies diaphragmatica, mengarah ke anterior, superior dan posterior, dan facies visceralis, mengarah ke inferior. (Anonim, 2009 dan )

Facies diaphragmatica
1. Berbentuk kubah, halus, terletak di facies inferior diaphragma
2. Berhubungan dengan recessus subphrenicus dan recessus hepatorenalis
3. Recessus subphrenicus ; memisahkan facies diaphragmatica hepatis dari diaphragma. Dibagi menjadi area dextra et sinistra oleh ligamen falciforme hapatis (struktur yang berasal dari mesogastrium ventralis pada saat embryo)

4. Recessus hepatorenalis : bagian dari cavitas peritonealis di sisi kanan diantara hepar dan ren dan glandula suprarenalis dextra

Facies visceralis ditutupi oleh peritoneum visceralis kecuali pada fossa vesica fellea dan di porta hepatis. (Anonim, 2009)

Hepar melekat ke dinding anterior abdomen melalui ligamen falciforme hepatis. Sebagian besar ditutupi oleh peritoneum visceralis kecuali area kecil yang menghadap diaphragma (bare area). Terdapat lipatan tambahan peritoneum yang menghungkan hepar dengan ventriculs (ligamen hepatogastrica), dengan duodenum (ligamen hepatoduodenalis), dengan diaphragma (ligamen triangularis dextra et sinistra dan ligamen coronarius anterior et posterior). Hepar dibagi menjadi lobus dexter et sinister, lobus caudatus, dan lobus quadratus. (Anonim, 2009)
Hati mempunyai 2 aliran darah; dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatis dan dari aorta melalui arteri hepatica. Darah dari vena porta dan arteri hepatica bercampur dan mengalir melalui hati dan akhirnya terkumpul dalam v. hepatica dextra dan sinistra, yang bermuara ke dalam v. cava. Beberapa titik anastomosis portakava terhadap darah pintas di sekitar hati pada sirosis hepatis yang bermakna klinis, yaitu v. esophageal, v. paraumbilikalis, dan v. hemoroidalis superior. (Price, Sylvia et al, 2005)
Lobuli hepar berbentuk prisma polygonal, pada potongan melintang tampak sebagai hexagon, bagian pusat terdapat vena sentralis dan sudut-sudut luar lobuli terdapat canalis portae. Pada canalis portae mengandung jaringan pengikat yang didalamnya terdapat portal triads. (Bagian Histologi, 2009)







2.2.2 Anatomi dan Histologi Vesika Felea
Vesica fellea berupa kantong, berbentuk seperti buah peer, terletak di facies visceralis hepar di lobus dexter di dalam fossa antara lobus hepatis dexter dan lobus quadratus. Terdiri atas fundus, corpus, dan collum. Vesika Fellea menerima bilus dari hepar, menyimpan dan memekatkannya. (Anonim, 2009)

Secara histologis, dinding vesika terdiri dari 3 lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa.
Tunika serosa membentuk lipatan-lipatan. Permukaan lipatan ini dibatasi dengan epithelium dan langsung meluas ke dalam lamina propria dan lapisan muskuler. Lipatan ini disebut Sinus Rokitansky Asehoff. Tunika muskularis merupakan lapisan otot polos. Sedangkan pada tunika serosa merupakan jaringan pengikat longgar. Di sini juga terdapat duktus dari Luschka. (Bagian Histologi, 2009)

2.2.3 Fisiologi Hepar dan Vesika Felea
Fungsi utama hati/ hepar:
1. Pembentukan dan ekskresi empedu
2. Metabolisme karbohidrat, protein, steroid dan lemak
3. Penimbunan vitamin dan mineral
4. Detoksifikasi
5. Gudang darah dan filtrasi
(Price, Sylvia et al, 2005)

Fungsi utama dari kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. (Price, Sylvia et al, 2005)
Metabolisme bilirubin normal terjadi dalam beberapa langkah seperti di berikut ini:
1. Heme dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi.
2. Bilirubin tak terkonjugasi yang dibawa ke hepar berikatan dengan albumin.
3. Ambilan protein karier hepatik (Y dan Z) hepatik bilirubin tak terkonjugasi setelah disosiasi dari albumin.
4. Konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat untuk menghasilkan bilirubin glukuronida/ bilirubin terkonjugasi, yang menjadi larut dalam air dan dapat diekskresi.
5. Ekskresi bilirubin terkonjugasi ke dalam kanalikulus empedu.
     6. Pasase bilirubin terkonjugasi ke bawah cabang biliaris.
7. Reduksi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinogen oleh bakteri usus.
8. Sirkulasi enterohepatik bilirubin tak terkonjugasi dan urobilinogen.
9. Ekskresi urobilinogen dan bilirubin terkonjugasi dalam ginjal.
(Price, Sylvia et al, 2005)










2.3 Etiologi
· Hepatitis virus B/C
· Alkohol
· Metabolik: DM, hemokromatosis idiopatik, penyakit Wilson
· Perlemakan hati (kolestasis hati)
· Obstruksi aliran vena hepatik: Penyakit vena oklusif, perikarditis konstriktiva, payah jantung kanan
· Gangguan imunologi: Hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif
· Toksik dan obat: metotrexat (MTX), INH, metildopa
· Malnutrisi
· Infeksi seperti malaria, sistosomiasis

2.4  Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara

2.5 Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.










PATOFLOW






















2.6 Tanda dan Gejala
Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.

             Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.

          Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.



Pada kasus dengan Sirosis Hati Kompensata, pasien tidak mempunyai keluhan yang terlalu berarti selain dari cepat merasa lelah dan nafsu makan yang menurun tidak begitu signifikan. Beda halnya dengan pasien pada stadium dekompensata, dimana sudah timbul banyak gejala yang membuat pasien tidak berdaya akibat hati gagal mengkompensasi akumulasi kerusakan yang dialaminya. Berikut gejala-gejala umum beserta dengan penjelasan patomekanismenya.
Hipertensi Portal
Hati yang normal mempunyai kemampuan untuk mengakomodasi perubahan pada aliran darah portal tanpa harus meningkatkan tekanan portal. Hipertensi portal terjadi oleh adanya kombinasi dari peningkatan aliran balik vena portal dan peningkatan tahanan pada aliran darah portal.
Meningkatnya tahanan pada area sinusoidal vascular disebabkan oleh faktor tetap dan faktor dinamis. Dua per tiga dari tahanan vaskuler intrahepatis disebabkan oleh perubahan menetap pada arsitektur hati. Perubahan tersebut seperti terbentuknya nodul dan produksi kolagen yang diaktivasi oleh sel stellata. Kolagen pada akhirnya berdeposit dalam daerah perisinusoidal.
Faktor dinamis yang mempengaruhi tahanan vaskular portal adalah adanya kontraksi dari sel stellata yang berada disisi sel endothellial. Nitric oxide diproduksi oleh endotel untuk mengatur vasodilatasi dan vasokonstriksi. Pada sirosis terjadi penurunan produksi lokal dari nitric oxide sehingga menyebabkan kontraksi sel stellata sehingga terjadi vasokonstriksi dari sinusoid hepar.
Hepatic venous pressure gradient (HVPG) merupakan selisih tekanan antara vena portal dan tekanan pada vena cava inferior. HVPG normal berada pada 3-6 mm Hg. Pada tekanan diatas 8 mmHg dapat menyebabkan terjadinya asites. Dan HVPG diatas 12 mmHg dapat menyebabkan munculnya varises pada organ terdekat. Tingginya tekanan darah portal merupakan salah satu predisposisi terjadinya peningkatan resiko pada perdarahan varises utamanya pada esophagus.
Edema dan Asites
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hati mempunyai peranan besar dalam memproduksi protein plasma yang beredar di dalam pembuluh darah, keberadaan protein plasma terutama albumin untuk menjaga tekanan onkotik yaitu dengan mejaga volume plasma dan mempertahankan tekanan koloid osmotic dari plasma. Akibat menurunnya tekanan onkotik maka cairan dari vaskuler mengalami ekstravasasi dan mengakibatkan deposit cairan yang menumpuk di perifer dan keadaan ini disebut edema.
Akibat dari berubahnya tekanan osmotic di dalam vaskuler, pasien dengan sirosis hepatis dekompensata mengalami peningkatan aliran limfatik hepatik. Akibat terjadinya penurunan onkotik dari vaskuler terjadi peningkatan tekanan sinusoidal Meningkatnya tekanan sinusoidal yang berkembang pada hipertensi portal membuat peningkatan cairan masuk kedalam perisinusoidal dan kemudian masuk ke dalam pembuluh limfe. Namun pada saat keadaan ini melampaui kemampuan dari duktus thosis dan cisterna chyli, cairan keluar ke insterstitial hati. Cairan yang berada pada kapsul hati dapat menyebrang keluar memasuki kavum peritonium dan hal inilah yang mengakibatkan asites. Karena adanya cairan pada peritoneum dapat menyebabkan infeksi spontan sehingga dapat memunculkan spontaneus bacterial peritonitis yang dapat mengancam nyawa pasien
Hepatorenal Syndrome
Sindrome ini memperlihatkan disfungsi berlanjut dari ginjal yang diobsrevasi pada pasien dengan sirosis dan disebabkan oleh adanya vasokonstriksi dari arteri besar dan kecil ginjal dan akibat berlangsungnya perfusi ginjal yang tidak sempurna.kadar dari agen vasokonstriktor meningkat pada pasien dengan sirosis, temasuk hormon angiotensin, antidiuretik, dan norepinephrine.
Hepatic Encephalopathy
Ada 2 teori yang menyebutkan bagaimana perjalanan sirosis heatis menjadi ensephalopathy, teori pertama menyebutkan adanya kegagalan hati memecah amino, teori kedua menyebutkan gamma aminobutiric acid (GABA) yang beredar sampai ke darah di otak.
Amonia diproduksi di saluran cerna oleh degradasi bakteri terhadap zat seperti amino, asam amino, purinm dan urea. Secara normal ammonia ini dipecah kembali menjadi urea di hati, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada penyakit hati atau porosystemic shunting, kadar ammonia pada pembuluh darah portal tidak secara efisien diubah menjadi urea. Sehingga peningkatann kadar dari ammonia ini dapat memasuki sirkulasi pembuluh darah.
Ammonia mempunyai beberapa efek neurotoksik, termasuk mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit ke membrane neuronal. Ammonia juga dapat mengganggu pembentukan potensial eksitatory dan inhibitory. Sehingga pada derajat yang ringan, peningkatan ammonia dapat mengganggu kosentrasi penderita, dan pada derajat yang lebih berat dapat sampai membuat pasien mengalami koma.
Gejala-gejala lainnya
Pada pasien dengan sirosis hepatis dekompensata, sangat banyak gejala yang muncul diakibatkan hati mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan sehingga jika peranan ini terganggu maka akan banyak timbul abnormalitas dalam kehidupan seorang penderita.
Adanya proses glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati membuat seseorang tetap mempunyai cadangan energi dan energi apabila seseorang tidak makan, namun pada pasien sirosis hepatis, kedua proses ini tidak berlangsung sempurna sehingga pasien mudah lelah dan pada keadaan yang lebih berat pasien bahkan tidak dapat melakukan aktivitas ringan.
Karena hati mempunyai peranan dalam memecah obat, sehingga pada sirosis hepatis, ditemukan sensitivitas terhadap obat semakin menigkat, efek samping obat lebih menonjol dariada implikasi medisnya sehingga pada penderita sirosis hepatis, pemilihan obat harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Pada pasien sirosis juga ditemukan perdarahan spontan akibat adanya kekurangan faktor faktor pembekuan yang diproduksi di hati. Memar juga dapat terjadi akibat kekurangan faktor-faktor ini.
Perdarahan esofagus juga ditemukan karena adanya peningkatan tekanan vena portal sehingga darah memberikan jalur cadangan pada pembuluh darah sekitar untuk sampai ke jantung, maka darah melalui pembuluh darah oesofagus, karena pembuluh darah ini kecil maka gesekan akibat makanan yang normalnya tidak memberikan luka pada orang biasa membuat varises ini pecah sehingga timbul darah. Darah ini dapat saja keluar melalui muntahan darah atau juga dapat melalui tinja yang berwarna ter (hematemesis melena).
Hati juga mempunyai peranan dalam endokrin, sehingga sirosis dapat memperlihatkan manifestasi endokrin seperti pada wanita terdapat kelainan siklus menstruasi dan pada laki-laki ditemukan gynecomastia dan pembengkakan skrotum





2.7 Pemeriksaan penunjang
  • Pemeriksaan Laboratorium
    1. Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.
    2. Kenaikan kadar enzim transaminase - SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
    3. Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
    4. Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan prognasis jelek.
    5. Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
    6. Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
    7. Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis jelek.
    8. Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah keganasan.


2.8 Komplikasi
· Kegagalan hati
· Hipertensi portal
· Ascites
· Ensefalopati
· Peritonitis bakterial spontan
· Sindrom hepatorenal
· Keganasan

Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah:
1. Perdarahan Gastrointestinal
            Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.
2. Koma hepatikum
            Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.
Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.
3. Ulkus peptikum
            Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.
4. Karsinoma hepatoselular
            SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
            Setiap  penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.



B.   Konsep Dasar Keperawatan
  1. Pengkajian
    • Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien.
    • Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
    • Riwayat Tumbuh Kembang
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit, seperti ada riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan imunisasi, pada form yang tersedia tidak terdapat isian yang berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.
    • Riwayat Sosial Ekonomi
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.

    • Riwayat Psikologi
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hepatis dimungkinkan terjadi perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2000).
    • Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluhan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
·         Pola nutrisi
-          Mual
-          Muntah
-          anoreksia
·         Pola aktivitas
-          lemah
-          letih
·         Pola istirahat tidur
-          sulit tidur karna nyeri pada perut dan kembung
    • Pemeriksaan Fisik
      • Kesadaran dan keadaan umum pasien
        Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar - tidak sadar (composmentis - coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
      • Tanda - tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala - kaki
        TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
        1. Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.
        2. Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :
          -Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)
          -Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
        3. Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.

  1. Masalah Keperawatan yang Muncul
    1. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
    2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
    3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
    4. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks
    5. Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.

  1. Intervensi
Diagnosa Keperawatan 1. :
Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus)
Tujuan : Status nutrisi terpenuhi dengan  baik dalam waktu 3 x 24 jam
Kriteria hasil : Berat badan naik, tidak mual dan klien tidak anoreksia
Intervensi :
    • Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu.
      Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.
    • Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
      Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
    • Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
      Rasional: Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
    • Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural.
      Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
    • Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak.
      Rasional: Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
    • Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
      Rasional: Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
    • Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
      Rasional: Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah
    • Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan.
      Rasional: Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia.
      Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
    • Kolaborasi pemberian antiemetik
Rasional: untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.

Diagnosa Keperawatan 2. :
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
Kriteria hasil : aktivitas terpenuhi dan berat badan meningkat
Intervensi :
    • Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
      Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
    • Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
      Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
    • Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
      Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
    • Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.


Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan : Integritas kulit baik
Kriteria hasil : integritas kulit kembali normal
Intervensi :
    • Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
    • Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
      Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
    • Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
      Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
    • Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
      Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
    • Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
      Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
    • Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
Diagnosa keperawatan 4
Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan. Terpenuhi dalam waktu 3 x 24 jam
Hasil yang diharapkan : Mengalami perbaikan status pernapasan.
Intervensi :
  1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
Rasional : Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal
  1. Hemat tenaga pasien.
Rasional : Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien
  1. Ubah posisi dengan interval.
Rasional : Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
  1. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis.
    1. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur.
    2. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
    3. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi.
Diagnosa keperawatan 5
Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.
Tujuan : Perbaikan status mental terpenuhi dalam waktu 3 x 24 jam
Hasil yang di harapkan : Memperlihatkan perbaikan status mental.
Intervensi :
  1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.
Rasional : Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).
  1. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering.
Rasional : Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga
  1. Berikan perlindungan terhadap infeksi.
Rasional : Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.
  1. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.
Rasional : Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik
  1. Pasang bantalan pada penghalang di samping tempat tidur.
Rasional : Memberikan perlindungan kepada pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
  1. Batasi pengunjung.
Rasional : Meminimalkan aktivitas pasien dan kebutuhan metaboliknya.
  1. Lakukan pengawasan keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien.
Rasional : Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien yang mengalami gejala konfusi.
  1. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat.
Rasional : Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.
  1. Bangunkan dengan interval.
Rasional : Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien.

  1. Evaluasi
1. Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan
2. aktivitas terpenuhi dan BB meningkat
3. Integritas kulit kembali normal
4. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
5. Memperlihatkan perbaikan status mental.






BAB III
TINJAUAN KASUS

Kajian Keperawatan
Ruang / kamar             : Perawatan Umum Lt 2
Tanggal Masuk            : 05 – 05 – 2009
Tanggal Pengkajian     : 06 – 05 – 2009
I.       Identitas
Klien
Nama lengkap : Tn. T, Nama Pangilan : Tn. T, Tempat / Tgl. Lahir : 50 tahun, Jenis Kelamin : Laki – laki, Warga Negara : Indinesia, Bahasa yang digunakan : Indonesia, Pendidikan      : SMA, Alamat rumah : Jl. Raya bogor km 22 kampung rambutan 08 / 022 n0. 18, Penanggung Jawab  : Urip, Hubungan : Paman
II.    Data Medik
Dikirim oleh : Poli, Doagnosa Medik : Sirosis hepatis
III. Keluhan Utama
1 bulan tubuh terlihat kuning
IV. Keadaan Umum
Pemeriksaan fisik :
Kesadaran : Compos Metis
KU                        : Pasien tanpa sakit ringan dan terpasang infus di tangan kiri
TTV           : TD : 120 / 90 mmHg
                    N    : 88 x / menit
                    RR : 20 x / menit
                    S    : 36,7  C
Data penunjang :
Labotarium
Radiologi 
USG
EKG

Hasil Laboratorium
                                                Hasil                            satuan                         normal
Hemaglobin                             113                              g/dl                              13 – 16
Segmen                                   85                                %                                 50 – 70
Limfosit                                  10                                %                                 20 – 40
Monosit                                   1                                  %                                 2 – 8
Hematrokit                              33                                vol %                           40 – 48
LED                                        10                                mm/jam                       <10
Eritrosit                                   3,42                             juta /ul                         4 – 6
Kalium                                                2,8                               mmol / L                      3,5 – 5
Clorida                                                99                                1                                  99 – 110
HbsAg                                     reaktif                                                              non reaktif
V.    Poa kesehatan
A.    Kaji persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Data subyektif
Klien mengatakan  kebiasaan mandi 2 x 1 hari
Data obyektif
Klien terlihat bersih
Pemeriksaan fisik
·         Kesadaran                                                        : Compos mentis
·         Keadaan umum                                                : sedang
·         Kebersihan kepala dan rambut                         : bersih
·         Hygiene rongga mulut, gigi dan lidah             : bersih
·         Kebersihan kulit, turgor dan kuku                   : bersih
·         Mata, telinga dan hidung                                 : tak ada keluhan

Abdomen & pinggang                   : simetris
Bising usus                                    : negatif
Benjolan                                       : negatif
Nyeri                                             : negatif
·         Lengan dan tungkai                      : tidak ada fraktur

B.     Kaji nutrisi metabolik
1.      Data subyektif
Pasien mengatakan kebiasaan makan di rumah 3-4 kali/hari. Dan kebiasaan minum 600-800ml/hari dan dalam keadaan di rawat tidak ada nafsu makan
2.      Data obyektif
Selera makan tidak ada, makanan yang di berikan tidak dimakan.

C.     Kaji pola eliminasi
1.      Data subyektif
Pasien tidak mampu buang air kecil di toilet dan kebiasaan miksi di rumah 4-5kali/hari kebiasaan defikasi 1-2kali/hari.
2.      Data obyektif
Pasien menggunakan kateterisasi
D.    Kaji pola aktivitas dan latihan
1.      Data subyektif
Pasien mengatakan mampu latihan dan beraktivitas sendiri
2.      Data obyektif
Pasien mersa nyaman dengan latihan dan aktivitas sendiri
0        : Mandiri
1        : Bantuan Dengan Alat
2        : Bantuan orang
3        : Bantuan orang dan alat
4        : Bantuan penuh
 
Aktivitas harian :
§ Makan                               0
§ Mandi                                0
§ Berpakaian                        0
§ Kerapian                            0
§ BAB                                   0
§ BAK                                   0
§ Mobilitas di tempat tidur   0




E.     Kaji pola tidur dan istirahat
1.      Data Subyektif
Pasien mengatakan tidak bisa tidur
2.      Data Obyektif
Pasien terlihat gelisah dan tidak tidur

ANALISA DATA
No
Data
Kemungkinan penyebab
masalah
1.




2.





3.



4.


5.
DS : klien mengatakan tidak nafsu makan dan mual

DO : klien tidak ingin makan

DS : keluarga klien mengatakan suhu badan panas
DO : suhu badan klien panas. Hasil termometer
S : 38,5  C

DS : Pasien mengatakan nyeri pada perut
DO : perut pasien terlihat membesar
DS : klien mengatakan sesak
DO ; klien terlihat sesak

DS : Klien mengatakan perut kembung
DO : perut klien terlihat membesar
Intake yang tidak adekuat adanya mual dan nyeri perut


Suhu tubuh yang tidak normal




Peningkatan rasa kenyamanan


Pola nafas yang tidak teratur

Nyeri perut dan perut kembung
Gangguan nutrisi



Suhu badan yang meningkat



Nyeri



Ganguan pola nafas

asites

Diagnosa keperawatan
1. Resiko gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak adekuat (anoreksia,nausea/vomitus )
2. perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
3. Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.
4. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.








ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS
DENGAN Tn. T DI PU II RUANG PENYAKIT DALAM
RS. HARAPAN BUNDA
JAKARTA – TIMUR

No dan tanggal
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Rasional
Implementasi
Evaluasi
1.
05 - 05 -09

























2.
6 / 5/ 09





















3.













4.
7 / 5 / 09
























5.




Resiko gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak adekuat (anoreksia,nausea/vomitus)

DS : klien mengatakan tidak nafsu makan dan mual

DO : klien tidak ingin makan






























Perubahan suhu tubuh : hipertermia berhubungan dengan proses imflamasi pada sirosis

DS : Keluarga pasien mengatakan suhu badan klien panas

DO : suhu klien 38,5  C
























Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.

DS : Klien mengatakan nyeri pada perut

DO : perut klien terlihat membesar










Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.

DS : klien mengatakan sesak
DO ; klien terlihat sesak



























Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
DS : Klien mengatakan perut kembung
DO : perut klien terlihat membesar
Pasien dalam status nutrisi yang adekuat dalam waktu 3 x24 jam
























Pemeliharaan suhu tubuh yang normal terpenuhi dalam waktu 2 x 24 jam



















Peningkatan rasa kenyamanan terpenuhi dalam waktu 3 x 24 jam










Perbaikan status pernapasan. Terpenuhi dalam waktu 3 x 24 jam






















Pemulihan kepada volume cairan yang normal. Terpenuhi dalam waktu 3 x 24 jam
1. Kaji intake diet  
2. Anjurkan pasien untuk istirahat/bedrest
  3.  Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet 
   4. Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak

5.  Kolaborasi pemberian antiemetik    





















1.Catat suhu tubuh secara teratur

2. motivasi asupan cairan

3. lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan suhu tubuh

4. berikan antibiotik seperti yang di resepkan

5. hindari kontak dengan infeksi

6. jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi






1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen

2. Kurangi asupan natrium dan cairan jika di intruksikan

3. Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan



1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
2.Hemat tenaga pasien.
3.Ubah posisi dengan interval.
4.Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis.























1.Batasi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
2.Berikan diuretik, suplemen kalium dan protein seperti yang dipreskripsikan.
3.Catat asupan dan pengluaran cairan.
4.Ukur dan catat lingkar perut setiap hari.
Jelaskan rasional 5.pembatasan natrium dan cairan.
1. Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet.

2.Dimungkinkan dapat mengurangi dan menstabilkan kebutuhan
nutrisi dan mengurangi tingkat energi yang tidak diperlukan karena
pasien dalam kondisi meningkat energinya dalam mengalami proses
penyakit.

3.Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dnegan status
Uremik

4. Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan
makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.

5. untuk menghilangkan mual/muntah dan dapat meningkatkan
pemasukan oral.

1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.

2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien

3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.

4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi

5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik
6. Mengurangi laju metabolik


1. Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen

2.Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.









1.Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal.
2.Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
3.Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
4.Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.

1.Meminimalkan pembentukan asites dan edema.
2.Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3.Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.
4.Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan.
5.Meningkatkan pemahaman dan
1. mengkaji intek diit
2.menganjurkan klien untuk istirahat
3. memberikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diit





















1. mencatat suhu tubuh dan tanda – tanda vital lainya
TD : 120 / 90 mmHg
N : 80 x / menit
RR : 20 x / menit
S : 38.5  C
2. memotivasi asupan cairan sesuai kebutuhan
3. Mengompres klien dengan air dingin
4. memberikan antibiotik
5. Menghindari kontak dengan infeksi
6. menyarankan klien untuk beristirahat




1. mempertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen
2. mengurangi asupan cairan








1. meninggi kan bagian kepala
Mengukur TTV : TD : 90 / 80 mmHg
N : 88 x / menit
S : 37  C
2. menganjurkan untuk beristirahat
3.mengubah posisi dengan interval














1. membatasi asupan natrium dan cairan
2. mencatat asupan dan pengluaran
3. mencatat lingkar perut
Hasil : 79 cm
4. membatasi asupan cairan

S : Klien mengatakan masih mual

O : klien terlihat tidak ingin makan
A : masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan



















S : Klien mengatakan sudah tidak panas
O : suhu :36,5 C
A :masalah teratasi
P : di stop
















S : Klien mengatakan masih terasa nyeri
S : Klien terlihat meringis
A : masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan







S : klien mengatakan sesak
O : klien terlihat sesak
A : masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan



















S : Klien mengatakan sakit di perut
O : Klien terlihat meringis
A : masalah belum teratasi
P : intervensi di lanjutkan











BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian
Data – data yang di temukan dari hasil pengkajian kemudian di simpulkan menjadi sebuah diagnosa keperawatan.
4.2 Adapun diagnosa yang muncul :
1. Resiko gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak adekuat (anoreksia,nausea/vomitus )
2. perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
3. Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.
4. Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.



4.3 Intervensi
Dari ke 4 diagnosa yang dipioritaskan telah di buatkan rencana – rencana tindakan untuk mengatasi masalah – masalah keperawatan tersebut.
4.4 Implementasi
Peleksanaan rencana keperawatan belum semuanya di lakukan, di karnakan waktu pelaksanaan tindakan tidak mencukupi
4.5 Evaluasi
Masalah yang teratasi adalah gangguan suhu tubuh dan masalah yang belum teratasi adalah gangguan pola nafas, nyeri, inflamasi sirosis dan asites.











BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia termasuk di indonesia. Prevalensi terbanyak pada laki – laki dan pada usia 51 – 60 tahun. Penderita datang dengan keluhan terbanyak adalah asites, di ikuti dengan gejala ikterik. Sedangkan pada pemeriksaan USG, yang paling banyak di temukan adalah asites, struktur hepar yang kasar, spenomegali, hipertensi, porta dan pembesaran hepar , nodul, penebalan dinding kandung empedu dan pasir kandungempedu di temukan pada kurang dari 50 % kasus.
5.2  Saran
Sebaiknya, pasien segera diberikan terapi yang adekuat. Sebaiknya, pemeriksaan dan penatalaksanaan yang telah direncanakan pasien segera dilakukan agar kondisinya tidak semakin memburuk.






DAFTAR PUSTAKA

Asisten Anatomi FK UNS 1999/2000. 2003. Guidance to Anatomy. Surakarta : FK UNS Bagian Histologi. 2009. Petunjuk Praktikum Histologi Fakultas Kedokteran Blok Gastrointestinal. Surakarta : FK UNS
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Newman, Dorland. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta : EGC
Price, Sylvia et al. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.